Senin, 08 Februari 2010

sekalian posting okee

HAHAHA halo lagi,mumpung di sekolah gua posting ajaa.. sudah lama sekali tak update ..hahaha abisnya males.. GUA GA TAU LAGI MAU NGOMONG APA


dadah..

HAHAHA ini superduperamatsangattidakpentingsekalidangaje

Saya numpang yaa.. hahaha

HALOOOO... HAHAHA gua sedang sekolah dan numpang posting tugas pkn tentang kasus korupsi.. males di email.. HAHAHA MAAF TAK PENTING

Saat membaca transkrip percakapan yang begitu "mesra" antara Artalyta Suryani (Ayin) dan beberapa pejabat tinggi dari Gedung Bundar, antara lain Kemas Yahya Rahman, yang saat itu masih menjabat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, setidaknya saya merasa kian teryakinkan terhadap kecenderungan perilaku bobrok para penegak hukum kita. Apa itu?

Pertama, begitu canggihnya modus kejahatan para penegak hukum dalam mengkonspirasi pencurian uang negara. Mereka dengan begitu cerdas memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan/atau saling menguntungkan (reprositas) dengan pihak yang sedang menghadapi masalah hukum. Para pelaku penyimpangan uang negara merupakan target operasi, bahkan sebagai proyek basah yang diskenariokan oleh segelintir pejabat dalam upaya saling mengamankan, sehingga seolah-olah masalahnya bersih dan tidak merugikan uang negara. Makanya tak mengherankan kalau gaji mereka terbatas tapi harta yang dimiliki berlimpah, dengan gaya hidup diri dan keluarga yang bermewah-mewah.

Kedua, ternyata nurani dan moralitas oknum-oknum itu sudah berada pada titik minus (di bawah nol). Betapa tidak. Mereka tidak peduli lagi dengan hukum yang harus ditegakkan sebagai tanggung jawab dan kewajiban asasi dari aparat atau pejabat. Mereka tidak peduli lagi dengan dampak dari perbuatan mereka yang sudah merugikan negara, yang mengakibatkan sebagian dari hak-hak rakyat tak terpenuhi atau tak terlayani (akibat dari kekurangan dana negara), yang hanya menguntungkan para pengutang uang negara. Mereka tak peduli lagi dengan hukum halal-haram dari uang yang diperoleh, kendati hasil konspirasi ala mafia itu akan masuk dalam darah daging sendiri, berikut anak-anak dan keluarganya.

Ketiga, ternyata rakyat bangsa ini terus saja dibodohi dan dibohongi oleh para pejabat yang melindungi dirinya dengan otoritas yang dimiliki. Kalau para pejabat penegak hukum melakukan kejahatan konspiratif, mereka bisa aman-aman saja. Maklum, semua itu direncanakan dan dilakukan secara tertutup oleh segelintir oknum dengan berkolusi dan berkonspirasi. Rakyat baru mengetahui kejahatan para oknum itu ketika diberitakan oleh media massa, seperti halnya kasus skandal di Kejaksaan Agung sekarang ini. Maklum, birokrasi kita sangat tertutup yang biasanya memproteksi diri dengan istilah rahasia jabatan, padahal di dalamnya terkandung maksud agar kejahatan dan imoralitas yang mereka perbuat tak diketahui publik.

Keempat, bukan mustahil perilaku bobrok yang dilakukan aparat dalam suatu instansi secara diam-diam memperoleh perlindungan dari atasan mereka, dan semakin hubungan atasan dan bawahan lebih menekankan kolegial-personal, maka akan kian aman juga kalangan aparat/pejabat bawahan terus melakukan kejahatannya. Saya dan Anda pembaca yang budiman pun kiranya sependapat bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak mungkin buta terhadap perilaku aparat bawahannya. Lantaran yang bersangkutan sendiri sadar betul bahwa kebiasaan itu dianggap wajar-wajar saja, karena sudah biasa terjadi, apalagi ada "percikan" atau "kebagian" juga dari hasil operasi konspirasi itu, segalanya bisa berlangsung aman-aman saja. Hal ini, meskipun agak samar, sebenarnya tersinyalkan juga dalam transkrip rekaman percakapan antara Ayin dan Kemas, terutama ketika muncul istilah si Joker. Karena semua pemain kartu remi pasti tahu bahwa istilah itu berarti sebagai penentu tertinggi dan ampuh dalam deretan kartu permainan.

Kecenderungan perilaku seperti itu besar kemungkinan sudah kerap terjadi. Hanya, kali ini mereka sedang apes karena terjerat oleh kecanggihan teknologi pengungkapan fakta berupa alat penyadap telepon yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi belakangan ini. Para oknum itu agaknya tidak menyadari bahwa segala gerak-gerik, perbuatan, dan perkataan mereka dalam kaitan dengan pengusutan kasus para pengguna dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (khusus Sjamsul Nursalim) sedang dipantau. Namun, seperti kata pepatah, "sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah juga" atau "sepandai-pandai menyimpan barang busuk, pasti suatu saat akan tercium juga baunya".

Kendati demikian, transkrip rekaman itu masih menimbulkan sedikit misteri, bahkan kecurigaan terhadap posisi KPK. Soalnya, terkait dengan penyebutan nama Antasari (Ketua KPK) dan Feri Wibisono (Direktur Penuntutan KPK) dalam percakapan antara Ayin dan UUS, itu mengindikasikan bahwa hubungan Ayin, baik dengan Antasari Azhar maupun Feri Wibisono, sudah tak asing lagi. Bahkan terkesan pihak pejabat Kejaksaan Agung yang terkait menjadikan kedua orang itu sebagai jaringan konspirasi untuk pengamanan perilaku jahat mereka. Ini memang bisa dipahami karena instansi kejaksaan merupakan habitat sang Bos KPK itu, yang sudah pasti satu sama lain sudah saling memahami kebiasaan dan cara kerja untuk saling mengamankan.

Pertanyaannya, apakah kedua orang di pihak KPK itu sengaja hendak dilibatkan, ataukah sudah merupakan bagian dari jaringan pengamanan kejahatan aparat penegak hukum? Memang masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Apalagi transkrip rekaman pembicaraan para mafia itu tak bisa kita jamin tidak terlebih dulu diedit, sehingga yang ditampilkan hanyalah bagian-bagian tertentu yang bisa menjamin keamanan mereka, ditambah dengan dugaan bahwa ada skenario untuk "membajak" alias menguasai KPK dengan menempatkan orang-orang yang menjadi bagian dari jaringan untuk tetap melanggengkan kejahatan yang sudah berlangsung selama ini.

Masuknya Antasari, apalagi menjadi Ketua KPK, menurut versi ini, merupakan bagian dari langkah sistematis untuk mewujudkan agenda konspirasi itu.

Kondisi seperti ini akan menjadikan kita semakin sulit mempercayai para aktor dari intern lembaga penegakan hukum untuk secara sungguh-sungguh menjalankan tugasnya dengan baik. Padahal baik jajaran kejaksaan maupun KPK diharapkan menjadi ujung tombak terdepan dalam mewujudkan agenda reformasi, terutama yang terkait dengan penciptaan lingkungan pemerintahan yang bersih (clean government).

Lalu kepada siapa lagikah kita mengharapkan tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini? Pertanyaan terakhir ini perlu direnungkan dengan sungguh-sungguh, terutama oleh Presiden RI sebagai penentu kebijakan di bidang eksekutif. Tentu solusinya harus berjalan bersamaan antara pembenahan sistem dan penempatan aktor-aktor yang teruji integritasnya.

Skenario Penangkapan Penerima Suap Romli Atmasasmita (25/06/2008)

Ketika pejabat tinggi Kejaksaan Agung berinisial UTG tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap, tampak seolah itu kasus suap biasa antara yang bersangkutan dan si pemberi suap berinisial ART, tanpa ada dugaan keterlibatan pihak lain. Ketika itu, semua orang menduga ada keterkaitan suap itu dengan dihentikannya penyelidikan kasus BLBI beberapa hari sebelumnya, karena posisi UTG selaku Ketua Tim II BLBI (BDNI), dan nilai uang suap (US$ 600 ribu) yang sangat besar untuk seorang UTG. Bahkan Jaksa Agung sendiri terkejut mendengar nilai uang yang diterima bawahannya.

Penyelidikan KPK membuahkan hasil baru dan fakta baru di mana UTG telah melakukan perbuatan yang sama ketika berhadapan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sesuai dengan keterangan GY (mantan Kepala BPPN) di hadapan pemeriksa KPK sebagaimana dirilis dalam berbagai media. Kesimpulan sementara, UTG telah terbiasa menerima pemberian atau suap dari pihak terperiksa. Dalam kriminologi, perbuatan ini termasuk habitual criminal yang lazimnya dilakukan secara individual saja.

Namun, di muka persidangan, ketika terhadap terdakwa ART (pemberi suap) diperdengarkan rekaman pembicaraan petinggi Kejaksaan Agung dengan ART sebelum dan sesudah ada pengumuman Kejaksaan Agung mengenai tidak dilanjutkannya penyelidikan kasus BDNI, timbul kecurigaan bahwa perbuatan UTG tidak dilakukan sendirian, dan peristiwa penangkapan ini berkaitan dengan pengumuman tidak dilanjutkannya penyelidikan kasus BDNI.

Apalagi isi rekaman pembicaraan antara ART dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (KYR) begitu gamblang menggambarkan bahwa hubungan pertemanan di antara kedua pembicara begitu akrab, sehingga seolah-olah ART ditempatkan sebagai atasan KYR. Mengutip kalimat yang diucapkan, antara lain "sudah selesai tugas saya", jelas bahwa sebelum pengumuman Kejaksaan Agung tersebut, telah ada permintaan dari ART kepada KYR untuk "menyelesaikan" penyelidikan kasus BDNI, karena bukan rahasia lagi siapa dan apa posisi ART dalam grup bisnis SYN.

Tampaknya ART tak hanya berteman dengan KYR, tapi juga dengan UUS (Jamdatun), sehingga terjadi pembicaraan antarteman yang intinya meminta pertolongan Jamdatun bagaimana menghadapi masalah tertangkapnya UTG, karena ART mengakui memberikan sesuatu. Advis yang diberikan Jamdatun kepadanya adalah akan diusahakan menghubungi Jamintel dan menyusun skenario bahwa ART akan ditangkap oleh Kejaksaan Agung.

Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh mantan Direktur Penyidikan (MS) dan semua persiapan penangkapan tersebut diketahui oleh Jaksa Agung, berdasarkan pengakuan MS kepada KYR selaku atasannya. Dalam peristiwa suap UTG oleh ART juga tidak dapat diabaikan fakta sebelum terjadinya peristiwa ini, yaitu ketika Kejaksaan Agung menyampaikan surat panggilan kepada SYN untuk menghadapi pemeriksaan atas saran petinggi di Kejaksaan Agung, telah dikeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa terperiksa sedang sakit, dan surat tersebut ditandatangani kuasa hukum ART, yaitu MI dan E, dengan menggunakan kop surat kantor hukum AB; dan surat tersebut tanpa dilampiri surat dokter. Surat keterangan dari penasihat hukum itu pun diterima oleh Kejaksaan Agung tanpa mempersoalkan surat dokternya.

Berdasarkan fakta tersebut di atas, semakin terang benderang bagi masyarakat luas bahwa dalam penanganan kasus BDNI (SYN), telah terjadi apa yang disebut sebagai miscarriage of justice oleh penegak hukum, sehingga telah terjadi apa yang disebut dalam kriminologi sebagai governmental crime.

Hal ini semakin diperkuat dengan langkah dan niat Kejaksaan Agung untuk segera menangkap ART setelah UTG ditangkap KPK, sekalipun Ketua KPK telah mengatakan kepada petugas Kejaksaan Agung untuk tidak ikut campur dalam kasus ini. Sesungguhnya pendapat Ketua KPK dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi: "Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan." Penegasan bahwa KPK memiliki peranan dominan dalam penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 50 ayat (4) yang berbunyi: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan."

Sanksi ancaman pidana terhadap langkah Kejaksaan Agung yang telah mengeluarkan surat perintah penangkapan ART terdapat pada ketentuan pidana Pasal 21 UU Nomor 31 tahun 1999 yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ...dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun...." Kegagalan melaksanakan perintah penangkapan tersebut dapat digolongkan sebagai percobaan melakukan tindak pidana, dan percobaan melakukan tindak pidana tetap dapat dihukum sesuai dengan ketentuan tersebut.


HAHAHA terimakasih dan



TOODELS!!